Minggu, 02 November 2014

Agar Subur meski Iklim Berubah

Dengan keahlian membaca musim, beberapa komunitas adat Dayak bisa menikmati lahan yang subur. Sayang kini keahlian itu mulai ditinggalkan.

MENGAMATI posisi bulan dan bintang sudah lama jadi rutinitas Raphael Assan. Warga Dayak Pesaguan, Desa Petebang Jaya, Ketapang, Kalimantan Barat, itu menggantungkan penghidupannya pada posisi dua benda langit itu.

Jika bulan sudah bergerak ke selatan, pria berusia 74 tahun tersebut akan girang. Posisi itu pertanda musim kemarau berakhir. Ia pun akan kembali ke sawah, membersihkan lahan dan dibera atau dibiarkan beberapa lama. Untuk menanam padi, Raphael masih punya perhitungan lagi.

“Menanam (padi) baru dimulai ketika bintang kerentikaq (karantika) banyak bermunculan di langit saat malam hari,“ jelasnya kepada Media Indonesia.

Karantika disebut juga rasi bintang biduk, yang merupakan gugusan tujuh bintang. Rasi bintang itu terlihat sepanjang tahun di langit belahan utara sehingga sering juga digunakan sebagai penunjuk arah saat pengembaraan. Jadwal tanam juga merujuk pada posisi matahari.

“Kalau menanam di luar waktu tersebut, padi tidak akan jadi (mati) karena kekeringan dan dimakan hama,“ tambah Raphael.

Ia menjelaskan keahlian membaca alam itu didapatkan turun-temurun. Dari moyangnya Raphael tahu posisi bulan membagi tiga hingga empat musim. Jika sang lunar condong ke hilir (utara) berarti akan kemarau.

Dengan menaati pertanda alam diharapkan, dari saat benih mulai bersemi hingga tumbuh padi, hujan akan terus mengguyur.

Tradisi membaca tanda-tanda alam saat hendak bercocok tanam juga dikenal di komunitas adat Dayak Jalai. Komunitas itu menetap di Kecamatan Jelai Hulu, Kabupaten Ketapang, dan beberapa kecamatan di sekitar Tumbang Titi.

Peneliti dari Institut Dayakologi John Bamba dalam Dayak Jalai di Persimpangan menyebut setidaknya ada tiga jenis bintang yang dijadikan pedoman dalam kalender musim tersebut. Ketiga bintang itu ialah kerentikaq, cangkam babiq (rahang babi), dan sanduq kerentikaq (kejora).

Kemunculan kerentikaq di ufuk timur pada dini hari, dengan sanduq kerentikaq tepat di atasnya menandai dimulainya musim membuka lahan. Adapun awal musim tanam dilakukan ketika posisi kerentikaq tepat di atas kepala saat dini hari. Musim tersebut biasa berlangsung sekitar Agustus, atau berselang dua bulan setelah membuka lahan.

Sementara itu, masa panen ditandai kemunculan kerentikaq di awal malam, dan matahari terlihat di utara, serta bulan di selatan. Warga Dayak Jalai juga berpatokan kepada arah angin serta perilaku flora dan fauna saat menentukan agenda berladang.

Pembukaan lahan, yang berlangsung pada musim kemarau, ditandai dengan dominansi hembusan angin timur pada pagi hari dan buah penajai yang mulai menua. Sementara itu, musim tanam dimulai saat pohon tapas maragaq mulai berbunga dan jamur mulai tumbuh. Kemudian, pucuk pohon penajai bersemi dan pohon kampas berganti daun.

Beberapa jenis serangga tertentu juga bermunculan menjelang panen. Mentimun serta labu mulai matang dan buah karet mulai berguguran. Perenjak rawa pun acap beterbangan menuntun anak-anaknya.

`Kalender (musim) ini menjadi pegangan masyarakat dalam berbagai aktivitas di kehidupan sehari-hari', tulis John, yang juga Direktur Institut Dayakologi. Menjaga kesuburan Tidak hanya menguntungkan petani, kearifan lokal membaca musim itu juga sesungguhnya menguntungkan alam. Dengan mengikuti siklus alam, kesuburan tanah tidak terganggu.

Hal itu berbeda dengan yang terjadi di pertanian modern. Saat petani menggenjot pola tanam hingga tiga kali setahun, alam pun seperti dipaksa berproduksi.

Rudi Zapariza, pegiat lingkungan dari WWF Kalimantan Barat, menjelaskan metode pertanian seperti itu membuat lahan tidak lagi berkesempatan mengembalikan kesuburan tersebut secara alamiah. Kebutuhan unsur hara yang sebelum bisa dipenuhi dari humus tanah akhirnya digantikan pupuk kimiawi.

“Penanaman secara terus-menerus menghambat pelapukan bahan-bahan organik untuk menjadi humus,“ kata Rudi, Rabu (29/10).

Kondisi tanah akan makin buruk dengan penggunaan pupuk kimia dalam jangka waktu panjang. Akumulasi bahan anorganik itu dapat mematikan mikroorganisme yang berperan dalam pembentukan humus. Struktur tanah juga bisa menjadi liat dan memadat. Pupuk kimiawi bahkan dapat meracuni tanaman akibat meningkatnya keasaman tanah.

“Pupuk kimiawi juga menghasilkan gas metana yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global sehingga memicu terjadinya perubahan iklim,“ tuturnya.

Perubahan pola tanam juga berdampak terhadap rantai makanan dalam ekosistem di persawahan atau perladangan. Akibatnya, padi menjadi lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Petani pun akhirnya menggunakan pestisida kimiawi untuk mengatasi serangan tersebut. Mulai ditinggalkan Sayang, keahlian astronomi yang diwariskan turun-temurun itu mulai jarang dipraktikkan, bahkan oleh warga Dayak Jalai ataupun Dayak Pesaguan sendiri.

“Yang tua tidak menurunkan (mengajarkan), yang muda pun tidak mau bertanya (belajar),“ kata Raphael, menjelaskan musabab memudarnya tradisi tersebut.

Hilangnya kearifan lokal tersebut memang bukan semata kesalahan para pendahulu. Perubahan zaman dan kondisi lingkungan yang kian terdegradasi juga turut menghilangkan kepekaan warga dalam mencermati tanda-tanda alam. Pepohonan yang siklus hidupnya dijadikan penanda pergantian musim semakin langka. Perilaku satwa pun terkadang sulit dijadikan rujukan.

Sementara itu, kalender konvensional tidak bisa sepenuhnya dijadikan rujukan untuk menentukan jadwal tanam. Perkiraan musim ada kalanya meleset akibat fenomena perubahan iklim.

“Kearifan lokal dalam memprediksi pergantian musim bisa diterapkan bersandingan dengan disiplin ilmu meteorologi, geofisika, dan klimatologi,“ jelas prakirawan Stasiun Klimatologi Pontianak Luhur Tri Uji Prayitno.

Lanjut Luhur, kearifan lokal tersebut patut dilestarikan karena sangat relevan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahkan mengakui dan mengakomodasi kearifan lokal itu dalam sekolah lapang iklim (SLI) untuk petani di beberapa daerah, termasuk di Kalimantan Barat.

“Pergeseran musim dan perubahan ekstrem cuaca dapat diprediksi melalui gejala alam setempat. Praktik-praktik seperti ini, antara lain, diterapkan SLI di Kecamatan Anjungan (Kabupaten Pontianak),“ pungkasnya. (M-4) Media Indonesia, 1/11/2014, halaman 25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar